Breaking

Kamis, 26 November 2020

TANDA TANYA; DISPOSISI AKU YANG HANYA BERBATAS



Orang adalah sebutan khas manusia saat menyandang gelar sadar akan kelanggengan hidup yang empirik, sedang Anak merupakan sapaan pada manusia yang masih muda keadaan segalanya. Saat itu pula sebutan mikrokosmik meraih keuntungan bagi manusia sebagai ciptaan-Nya. 
“Ciptaan-Nya....???”
“Ya... Ketahuilah saya diciptakan untuk apa, dengan apa, sebagai apa dan pada siapa. Ya hanya padanya.”
Dialektis tersebut menerawang akan masalalu yang tak bisa ditawar. Saya menginginkan sebuah roti yang tidak ada rasa tawarnya, namun saya mencari roti itu ditengah kolam renang PDAM. Lelucon ini terkadang banyak yang berbakat menghelatkan sebagai canda politis, seperti Legislatif yang lupa tanggal saat bertugas, Eksekutif salah alamat saat macak rentenir, dan bahkan Yudikatif yang gagal dewasa saat kutbah.
“Keadaan genting seperti itu boleh lah disebut #gupuh”
“What...!!! Gupuh....!!! Kita tau kalo jam dinding selalu berputar ke kanan, namun kita juga tau kalau tinggi dinding selalu diatas rata-rata manusia. Sebab kalo manusia bisa menggapainya dengan mudah, tidak menutup kemungkinan jam dinding itu diputar senikmat gerak gewetannya”
Itu pula fundamentalisme trilogi penyandaran hukum. Antara “seng rekoso, seng noto, lan seng ngendiko”,tak terlepas dari itu semua manusia modernis era bonus demografi ini seyogyanya sedang duduk ditengah kursi tanduk (antara tertusuk kebawah atau terngiang melambung tajam), sebab kemauan manusia terkadang tak sesuai dengan action di sosial. 
Jangankan social building, membangun rumah tangga pun tak bisa terlepas dari hujjatan tetangga, lebih parahnya untuk memulai atau membangung kepribadian keluarga pun harus dapat menerima hujjatan dari keluarga itu sendiri. Tak heran bukan, para pepatah selalu menuturkan diksi yang logis, sebab mereka sedikit banya pernah menyoal secara solutif di catatan hidup mereka. 
“Bicara  soal catatan, loe tau kaga kalo hari ini lagi boming bomingnya covid-19?”
“Ya tau lah... gimana bisa ga tau kalo tiap hari gua dibully ortu di rumah karna ga ada kerjaan,/padahal gua lagi jihad jadi pecundang”
“Wkwkwk.... Trus gimana tanggapan loe terkait hal tersebut?”
“Jadi gini mad, sebenernya gua enggan angkat bicara soal covid-19, tapi gimana lagi kalo loe dari tadi nyemprotin gua mulu... Risih tau ga..!! Oke langsungan ae, gua tu sebenernya kaga tega terhadap bapak sama emak gua kalo kaga ada penghasilan tetap, secara belio emang bukan pekerja kantoran yang dapat asuransi, logikanya kan kalo belio macet, di rumah gua juga kena mcetnya dong, walaupun gua ga menggantungkan hidup pada belio yaaa kasian aja lah,,,, tapi faktanya pandemi ini makin lama makin jadi dan ,,,, WOW...!!! makin pelik tau kalo dibiarin, gua disini sebagai pemuda pecundang mungkin hanya bisa berteriak, ayo rek; mosok negoro mraekno instansi melalui pernyataan publik, trus jumatan dipraekno di beberapa masjid gede terus terusan....? Kalo sekali-duakali mah gamasalah, lah iki... Malah jadi peluang rebahan.. ya Allah,,, perlu diulas lagi mungkin yo, bahwa suatu kewajiban Agama hukumnya tak dapat di ganggu gugat terkecuali ada dalih yang mendesaknya (dhorurot), itu pun tak semena-mena ngolahnya. Kalo bahasa gua nih, Agama mah absolut lut lut... Eh... Malah ini, anak yang baru lahir dan sok sokan punya mitra tinggi ngomong kalo jumatan diliburkan sementara,, ya kalo satu kali dua kali mah gapapa mad... Tapi klo sampe 3 kali itu mah njeblosin gue ke neraka namanya ..... Gua kaga peduli pokoknya kalo mereka itu saling menguntungkan (agama dan arek tas lahir/birokrat), yang penting namanya kewajiban ya wajib gua lunasin lah... Maap ni boleh kata,,, maap banget kalo kaku..” Sambil ngos-ngosan minum.
“owalah... Jadi gitu ya pendapat lo.”
Seolah tak terjadi apa-apa mungkin bahasanya si Sutong, tapi lain sisa ia juga mempertanyakan lajur kanan dan kiri “antara yang baik dan yang buruk, yang melawan dan yang dilawan, yang kapitalis dan proletar, yang diserang dan yang menyerang” mereka tiap hari ngobrol dan saling menarasikan kegagalan lawannya, sebagai satu narasi yang diamini kadernya; kita wajib menyuarakan demi kedaulatan komoditas kita. Daulat seperti inilah yang seolah mendekonstruksi kemaslahatan ummat, padahal jika ditatar secara normatif, ini merupakan suatu momentum yang reaksioner, dan bahkan bisa mengkonstruk keberagaman (pluralis)-lah bahasanya Abdur Rahman Wahid. 
“Kemudian apaa tanggapan loe mad, menyoal hal yang kelihatannya abstrak ini?”
“Kalo menurut gua sih gua berbincang-bincang hal ini sampek keriput juga kaga mungkin ada perubahan mad”
“Lololo... Lah teros... Loe mau gulung tikar gitu? Ato loe seneng mereka kesusahan?”, sambil melotot shok.
“Bukan gitu maksd gua mad. Maksd gua; emang sih gua belom punya power disitu, tapi setidaknya gua sadar dan partisipatif lah dengan sabar dan tawakkal, walopun gua geramener e... Wkwk... Piye maneh mad, seolah tak berdaya gua jika loe nanyain hal kaya gituan ke orang goblok kaya gua. Emang sih ada benernya terkadang, pun itu tak aneksasi ini juga ga sepenuhnya peluang bagi mereka, gua sebenernya juga bisa nyari peluang, tapi apa perlu mereka harus bersakit-sakitan berlama lama hanya ulah gua... Ya ga mungkin lah... Tapi gapapa, gua kembalikan lagi, gua disini berposisi sebagai microkosmik yang tak berpower, biarlah kepentingan mereka nunggangin trilogi hukum tadi, gua macak polos ae lah.”
Anatomi payah mereka sekarang barangkali terlacak oleh kalian yang sedang pada di rumah. Diferensiasi manusia secara fungsional mungkin membuat manusia semakin lockdown dalam aktualisasi hari ini, namun tak terlepas dari itu makrokosmik juga punya hak priogatif dalam merancang sekaligus menyusun prinsip hidup “manusia butuh kejelasan aksi”-lah menurut Abraham Marslow. 
Jika banyak hal diluar yang menertawakan dan bahkan menunggangi momentum yang hari ini sedang berdialektis dengan mitra pilihan mereka, maka disitulah celah anda untuk mencoba mengevaluasi kecacatan mereka dengan tetap mengkonsumsi realita sementara. Khusnudzon sorang pecundang merupakan wujud semu emanasi diktator. Pecundang merupakan Falsifikasi manusia yang sedang terangkat maqamnya. Disini sang penulis menulis nan sebatas tuang empirik atas kekurangannya. 
Sebelum gua akhiri pembicaraan ga penting ini... ada PR untuk loe loe yang lagi rebahan;
-Mau kemana loe nanti?
-Apakah loe akan mentaati peraturan sebagai oranga yang tak punya power?
-Apakah loe menolak keras pada mereka yang sedang berpower?
-Apakah loe geram dan bergerak melangkah pada pada dogma tertentu?
-Apakah loe terima?
-Apakah loe ambisi?
-Ato loe sedang bimbang dan mengatakan “sedang proses pertimbangan” untuk pengalihan isu?

Tetap khusnudzon, profesional, solutif dan Wassalam sedulur – ssahabat/i - rekan/ita - kerabat/i alineasutong.






Pembacod: Kader Begejekan Pacet

Tidak ada komentar:

sample terbang banjari.zip + yaa makkatal asyroofi cover banjari "ayo sholawat"

ya makkatal asyroofi by: mahasiswa uinsa-ma'had annur wonocolo 1. husni hamdani (gresik) 2. m. rizkillah (pacet, mojokerto) 2...