Kearifan lokal dan kebeneran kontekstual dalam tataran kehidupan
manusia mulai merambah dewasa, tak ada yang menolak keabsahan momentum itu
sekalipun antar individu banyak yang bersinggungan rasa, contoh saja pada
ranting yang selama ini dipandang kebaikannya dimata konsumen ghibah, disitu
banyak mengandung unsur anion dan kation molekul arif dan naïf, hal ini
dibuktikan pada saat ranting baru terbentuk dua tahun lalu, tepatnya 18 Maret
2018 banyak yang men-support kehadiran para Pelajar Ranting dan bahkan
masyarakat setempat menampakkan tangannya saat berteplok-teplok (tidak ada yang
bersinggungan secara Nampak).
Namun kian kedua mulailah Nampak perubahan hasil tangan bersama
ini, banyak masyarakat yang meras risih jika mendengar kata pelajar NU saja,
mulai dari yang beralasan pelajar NU didikannya kurang matang, dan hanya membahas
perkumpulan antara lelaki dan wanita di usia pelajar. Banyak para pelajar yang
kerjaannya membuang-buang waktu sampai lupa tugas pokok di rumah masing-masing,
proposal yang bertebaran dimana-mana saat menjelang PHBI, dan bahkan tak
segan-segan bersikap sentimen kepada kawan-kawan sejawatnya dikampung yang
tidak ikut organisasi hanya karena sungkan, seolah para pelajar itu memiliki nilai
yang lebih tinggi dari pada yang lainnya. Sementara itu etika yang tumbuh dari
gerak dan lisan, baik secara implisit maupun eksplisit para pelajar menggiring
kawan sejawat yang ikut andil didalamnya semakin terperosok dalam gelamor
fanatis. Sifat fanatis disini tidak saya imbuhi –tif sebab tak semuanya
ternodai sifat, boleh jadi prosentasenya dibawah saparuh dari jumlah total. Maka
dari itu terkadang sebutan rekan rekanita pula yang menjatuhkan pamor mereka
dalam tataran usia pelajar, namun perlu kita garisbawahi bahwa ini hanya wacana
masyhur yang tumbuh di tembok sosial Kuripansari.
ENIGMA
WACANA
Cobalah merenung sejenak, seorang pelajar yang notabenenya masih
meminta-minta uang saku pada orang tuanya masih angkuh berbagi kebaikan dalam
berorganisasi, padahal dalam Islam sudah jelas dalih sosial seperti;
Tafsir
Al-Muyassar
اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا
يُسْلِمُهُ ، وَمَنْ كَانَ فِـيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ ، كَانَ اللهُ فِيْ حَاجَتِهِ ،
وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ ، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ،
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًـا ، سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَة.
Artinya; “Seorang Muslim adalah saudara orang Muslim lainnya. Ia
tidak boleh menzhaliminya dan tidak boleh membiarkannya diganggu orang lain
(bahkan ia wajib menolong dan membelanya).”
Dari hadis tersebut menjelaskan bahwa orang Islam antara satu
dengan yang lain itu dipandang sebagai saudara. Sehingga satu sama lain tidak boleh
saling menganiaya. Dan jika kita mendapati seseorang dalam penderitaan ataupun
mendapat musibah, hendaknya kita membantunya untuk meringankan penderitaan yang
sedang ia alami. Sebagai mu’min sejati,
hendaklah merasa bahwa dirinya tidak hidup sendiri,karena teman-teman sesama
muslim akan membantu dan mendukungnya baik sedang dalam keadaan senang maupun
susah.
Afirmasi
otentik dari Q.S Al-Hujurat ayat 10
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُون
Artinya; “(Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab
itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah
terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”[1]
Sudah jelas bahwa dalam suatu ekosistem maupun populasi makhluk memiliki etika dalam memanusiakan manusia. Sepertihalnya studi kasus empiris yang pernah dialami oleh rekan-rekanita kuripansari (sebut saja Rizkillah, Yusril, Nanang, Alpindang, Hendra, Hasan, Lelly, Dian, Jihan, Intan, Nopret, dsb). Mereka merupakan salah satu kader yang pernah merasakan dinamika naik turunnya tangga, mulai dari cibiran konyol, motifatif, menjatuhkan, dan lebihparahnya khianat dari teman sejawat. Hal tersebut bukan malah menurunkan muru’ah mereka, melainkan sebaliknya derajat mereka mulai dapat sorotan. Saya yakin itu masih permulaan.
PERADABAN
SINGKAT
Sentiment pun disikapi dalam memandang orang yang takpunya bakat
lebih atas dirinya, padahal segala bentuk bakat organisingnya timbul dari
belajar bersama kawan sejawat organisasi. Kemudian pertentangan keluarga, hal
fatal ini timbul boleh jadi setelah ataupun sebelum dua hal sebelumnya muncul,
sejatinya organisasi memang sangat penting untuk belajar bersosial dan
beradaptasi hablu minan nash, namun realitanya keluarga sendiri mangkrak tak
terpedulikan kemakmurannya, tidak mungkinah suatu pelajar akan belajar secara
intens dan absolute, pada akhirnya nanti akan jelas bahwa segalanya akan
kembali kepada keluarga.
Sudah kian 31 bulan telah mereka lalui sebagai pelajar Nahdliyyin,
terhitung semenjak dideklarasikannya IPNU-IPPNU tahun 2018, kini sudah waktunya
melahirkan generasi neo. Neo disini dimaksud bahwa pembaharu zaman-zaman adalah
kader baru, yang dimana kader terbentuk ini nantinya akan membina rumah tangga
baru di dalam masyarakat majemuk. Kita tahu pula bahwa masyarakat majemuk
Kuripansari yang notabenenya terdiri dari 6 dusun yang tiap dusunnya punya
karakteristik istimewa. Katakanlah dusun Sumbergayam yang sebenarnya semangat
mengadakan kegiatan, hanya saja terkendala dengan gesekan wacana tetanggan. Keduanya
ialah Kandangan, amat semangat kader putrinya jika dibandingkan dengan pelajar
puteranya, kita tahu juga bahwa di Kandangan pula hari inilah yang memiliki top
global kader terbanyak se Kuripansari, wajar saja secara kuantitas jumlah KK di
sana memang paling banyak di Kelurahan. Hanya saja terkendala transport dan
geografi yang kurang mendukung di pelbagai kegiatan. Kedungpeluk adalah
ketiganya, yang merupakan dusun tersering mendapatkan sorotan struktural, sebut
saja IYA. Memang kebiasaan santri selalu melakat di dusun ini, sehingga sejarah
mencatat kampung ini sebagai kampong yang nyantrik dan fanatic agama, (dulu).
Barangkali sekarang beda, walaupun beberapa sumber suara burung menerangkan
bahwa muharrik NU mayoritas lahir di dusun tersebut. Lanjut ke Kahuripan atau biasa
dipanggil Kuripan, dusun yang menjadi pusat kajian dan kegiatan ini ternyata
masih belum masuk kategori kader tanak, jika dibandingkan dengan dusun yang
lain, dusun ini hanya memiliki 3 kader militan dan receh. Hebatnya di dusun
Kuripanlah yang mengalami gerakan besar dalam pengelolaan event ranting.
Untuk panjunan dan binatur, sengaja tak memberikan kesan, karna
bagian ini kami rasa kurang dari pelbagai macam aspek. Untuk memangkas fenomena
antropologi ini perlu berjilid-jilid memerhatikan esensinya. Esensi ialah suatu
hakikat hal yang pokok dalam disiplin ilmu filsafat. Esensi yang dimaksud yakni
segala bentuk kejadian manusia ataupun kausa manusia dalam menjalani hidup
selalu memiliki motif, disitulah motif akan terbentuk dengan komoditas masing-masing
individu pelajar Nahdliyyin, baik horizontal maupun vertikal.
EFEKTIFITAS
TEORI
Banyak masyarakat yang tahu bahwa 2020 ini merupakan catatan besar
revolusi sejarah dari modern menuju post modern. Sehingga mengusung pula
perubahan pola gerakan organisasi di pelbagai klaster masyarakat. Sebagai
contoh IPNU IPPNU di massa berdirinya tahun 1954 dan 1955, kala itu organisasi
yang pro kontra dengan kader lanjutan masyumi dan beberapa ormas lainnya
mengalami dilematis akut. Antara memposisikan sebagai santri pengabdi ataupun
santri pembela, lambat laun mengalami perubahan mulai nama dan ditambah lagi
sisi administrasinya (lihat sejarah perkembangan IPNU-IPPNU), pun diperkukuh
demi kesatuan ideologi “nderek kiyahi”. Sehingga sampai detik ini saya yakin
bahwa kelemahan organisasi santri kolektif dan kompetitif ini dapat ditutupi
dengan teori Clifford Greetz.
Dalam bukunya Daniel L. Pals, Greetz menceritakan bahwa kebutuhan
organisasi religi abad 20 kemarin terlalu fokus pada peletakkan posisi
organisasi diantara teoritikus yang dibahas dalam karangan budaya spiritual,
sehingga menurut pandangan masyarakat majemuk, organisasi ini terlalu kolot dan
tak bermartabat dihadapan bangsa pemeluk Pancasila.[2]
Sebagai solusinya pemuka ataupun pegiat ormas ini harus menawarkan konsepsi
sebagai tokoh antropologi interpretative di abad 21.
Sedang menurut Emil
Durkheim, jika berbicara soal religi basis masa lebih tepat mensubordinasikan
religi hanya sebatas “implikasi logis” dari terciptanya struktur masyarakat.
Senada dengan hal itu Karl Marx menjastifikasi madzab atau kepercayaan hari ini
menjadi kaca mata kuda bagi para pecandu pengikutnya.
Titik tolak aksipoma (pernyataan yang diterima tanpa bukti)
seseorang yang memposisikan teori organisasi adalah dengan menempatkan
karya-karyanya dibarengi dengan aktualisasi logis. Karena adanya pemikiran
primitif menimbulkan rangsangan ekstase pada kebutuhannya akan candu
organisasi. Sedang kebutuhan teori haruslah tetap konsisten dengan instruksi
hierarkis masing-masing organisasi, sepertihalnya efektifitas PR Kuripansari
menahan problematika atasnya (Alumni, Pembina, PAC, PC , dst). Lain daripada
hal itu, dilihat dari argumentasi alumni tak selalu dapat dianggap sebagai
kegagalan, hanya saja dari sudut pandang ini akan menimbulkan paradigma
pembanding untuk kekayaan dinamika organisasi.
KONKLUSI
Sebagai seorang pengamat
organisasi Nahdliyyin yang baik, seharusnya seorang kader lebih mendahulukan
toleransi, dan meninggalkan obyektifitas lingkup keluarga. Seperti ujar Abdur
Rahman Wahid dalam skripsi Wahyu Setiawan (mhs. UIN Lampung/pengamat pemikiran
Gus Dur), yakni segi-segi toleransi meliputi; 1) mengakui hak setiap orang, 2)
saling menghormati keyakinan setiap orang, 3) agree in disagreement “setuju
dalam perbedaan”, 4) saling mengerti dalam pelbagai kondisi sosial.[3]
Hal ini dapat diterapkan di ormas basis religi “IPNU-IPPNU”, sebab nilai tasammuh
(toleransi) yang dibawa dapat mendorong
potensi basis massa dan mensublim cibiran akut sosial.
Penulis : Rizkillah
Editor : Team Alinea Sutong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar