BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Irfan (gnostik)
Irfan disini menurut Muthahari bahwasannya “Irfan” tersebut
dalam tasawuf dibagi menjadi 2, yang mana Irfan tersebut meliputi aspek
praktis dan teoritis. Pada aspek praktis sendiri, Irfan merupakan
hubungan yang terjalin antara manusia dengan alam serta hubungan manusia dengan
Tuhan. Pada intinya pada Irfan tersebut menjelaskan suatu hal yang
muncul ketika seseorang tersebut melakukan suatu hubungan-hubungan dengan
melakukan berbagai cara yang sudah ada dalam tahap-tahapan spiritual seperti maqam
dan kondisi orang tersebut yang disebut dengan hal.[1]
Karena bagi kaum sufi yang beranggapan bahwasanya dalam menganal
diri Tuhan tersebut, berarti percaya bahwa Tuhan tersebut satu dan Esa. Dalam
hal tersebut selain meliputi berbagai tahapan-tahapan yang harus dialkukan,
juga tahapan-tahapan tersebut bagi kaum sufi tidaklah dapat terpikirkan oleh
rasional pada umumnya, sehinnga pada tingkatan tertentulah dalam segi aspek itu
hanya memfokuskan diri pada Allah SWT.
Sedangkan pada segi aspek selanjutnya yang memebicarakan irfan
dilihat pada segi aspek teoritis, bahwasannya dalam segi tersebut lebih
memebicarakan tentang hakikat alam semesta, manusia dan Tuhan. Sehingga
memunculkan opsi kesamaan antara filsafat yang mendiskusikan tentang hakikat
alam semesta.[2]
Sedangkan kata “Irfan” dalam pandangan sajak megatakan,
bahwasannya Irfan tersebut oleh para tokoh-tokoh sufi dalam penyampaian
rasa dan lain sebagainya dapat ditimbulkan melalui lewat syair atau
sajak-sajak religius, serta dalam sebuah tarian yang secara langsung dipelopori
oleh Jalaluddin ar-Rumi. Cara-cara tersebut dilakukan untuk merasakan sedekat-dekatnya antara Tuhan dengan manusia.[3]
B.
Macam-Macam
Irfani
Konsep dari Irfani memang populer dikalangan mutashawifin
dengan 4 macam kriteria berikut :
1.
Syariat =
Taubat + Taqwa + Istiqomah
2.
Thoriqot =
Ikhlas + Sidqu + Tuma’ninah
3.
Haqiqat =
Musyahadah + Muroqobah
4.
Ma’rifat =
Ridha + Mahabbah + Ittihad
Dalam maqom
syariat seorang salik akan menunaikan taubat dengan berhenti berbuat buruk dan
merubahnya dengan berbuat kebajikan serta tidak mengulangi segala perbuatan
buruknya. Lalu seorang salik akan meninggalkan segala larangan Allah dan
Menjalankan Semua Perintah Allah sebagai perwujudan dari taqwa sang salik. Berusaha
agar tetap menjalankan perihal semua tersebut dengan kesungguhan disebut
istiqomah yang patut diberikan nilai bagi para salik.
Beranjak pada
maqom thoriqot yang ditempuh seorang salik mengutamakan ikhlas sebagai wujud dari kebersihan niat dan perbuatan yang hanya ditujukan
kepada Allah. Dengan demikian tak luput juga kejujuran atau sidqu yang berarti
membenarkan perkara yang benar dan menyalahkan perkara yang salah khususnya
dalam perihal amal ibadah. Tuma’ninah dalam perihal ini sebagai ketenangan
fikiran dan perasaan serta mampu untuk menjajaki ketenengan nafsu yang
bergejolak.[4]
Menuju maqom
haqiqot yang berwarnakan pada musyahadah sebagai penyaksian esensi dan
eksistensi secara berkala yang mampu menuaikan kebenaran yang ada. Menggapai
tangan Allah dengan muroqobah atau
menaruh hati untuk mencari perhatian
kepada Allah dan seakan-akan bersama
Allah senantiasa dalam hidupnya.
Sebagai
ungkapan tertinggi adalah maqom ma’rifat yang didasari dengan ridha atau kerelaan yang tinggi kepada Allah atas segala
pemberian yang baik maupun yang
buruk karena sesungguhnya Allah yang lebih
mengetahui akan perihal yang lebih baik kepada sang salik. Lalu menginjak pada mahabbah atau cinta yang
selalu mengantarkan kepada kerinduan. Hingga menggapai ittihad sebagai bentuk dari rasa penyatuan
antara seorang hamba kepada Tuhannnya.[5]
[1]
Murtadha’ Murtahahhri, Menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah,
(Bandung :Pustaka Hidayah, 1995), 20.
[2] Ibid,.
24.
[3]
Murtadha’, Mutahahari, Manazil dan Maqamat dalam Irfan, terj. Edisi dalam
kitab Al-hikmah, (Bandung, 1996), 32
[4] Dahlan
Tamrin, Tasawuf Irfani Tutup Nasut Buka Lahut, (Malang: UIN Maliki
Press, 2010), 31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar