Berberbicara : (22/10) -
masalah penglihatan atau ‘ain, akhir-akhir ini kita faham akan apa yang
dinamakan dengan tele dan visio.
Dua kosakata ini terlahir sebagai karya prematur di abad 19 awal. Walaupun
tidak semua orang faham fungsinya, kebanyakan orang merasa nyaman dengan
keberadaanya. TV ditilik dari terminologi sebagai “penglihatan yang jauh”, jauh
dari letak dan keterbatasan manusia. Sebenarnya dengan keberadaannya hari ini
semakin mempermudah dalam menjangkau informasi, religi, ekonomi, politik dan
sosial di berbagai macam daerah. Hanya saja perlu dipilah secara jelih agar
dapat membedakan peta gerakan tiap tayangan yang ditayangkan, sebab euforia
yang dominan menggiring gaya berfikir masyarakat terlalu sentimen.
Bertumbuhnya
peradaban media pemberitahuan pasca rezim-rezim pemerintahan semakin memperkuat
pilar demokrasi di Indonesia justru menjadi alat politisasi demi kepentingan
kelompok tertentu. Sejauh ini, beberapa media arus utama menjadi lebih partisan
karena konsentrasi kepemilikan yang semakin kokoh di ranah politik. Disisi lain
juga mempunyai pengaruh yang kuat di ruang-ruang redaksi turut menjadi elit
politik yang akan dengan mudah menggiring arah pemberitaan ke arah kepentingan
oligarki yang menunggangi media tersebut. Wallahualam,,,, dan lanjut saling saembara
mendominasi opini publik. Bahkan hubungannya tidak terbatas pada politik
semata, namun erat hubungannya dengan ekonomi-politik, yang kian larut dan
menggusur posisi film-film penetral tayangan TV.
Suatu
contoh dongengan adzan, Bilal bin Rabbah sebutan masyhurnya, ia adalah salah
seorang tokoh revolusioner yang berpengaruh besar terhadap lingkungan kala itu.
Bagaimana bisa tidak masyhur, dalam kurun waktu 24 jam lamanya suaranya
menggema. Sebelum itu ketika para sahabat dikumpulkan oleh baginda Rasulullah
S.A.W untuk mempertemukan suatu lambang panggilan sholat, kala itu penanda yang
ditawarkan oleh para sahabat berbeda-beda, mulai dari (bendera, lonceng yang
menyerupai kaum nasrani, terompet seperti kaum yahudi, penanda api) ditawarkan
kepada Rasulullah. Dan semua tawaran itu ditolak mentah-mentah dan diluruskan
hanya dengan “assalatu jami’ah (marilah salat berjamaah)” yakni sebagai gagasan
yang moderat dari Rasulullah S.A.W. Sebagaimana detail kisahnya telah
dijelaskan dalam sebuah hadis dalam Shahih Muslim yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim :
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ
يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلَوَاتِ وَلَيْسَ يُنَادِى بِهَا أَحَدٌ فَتَكَلَّمُوا
يَوْمًا فِى ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمُ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى
وَقَالَ بَعْضُهُمْ قَرْنًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ أَوَلاَ تَبْعَثُونَ
رَجُلاً يُنَادِى بِالصَّلاَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ
بِالصَّلاَةِ
Suatu
waktu ketika kaum muslimin tiba di Madinah, mereka berkumpul sembari menunggu
waktu salat. Namun tidak seorang pun di antara mereka yang bisa memberitahukan
bahwa waktu salat telah masuk. Sehingga pada suatu hari mereka bermusyarawah
untuk membahas persoalan tersebut. Sebagian sahabat mengusulkan agar
menggunakan lonceng sebagaimana yang digunakan oleh orang-orang Nasrani dan
sebagian yang lain dengan tanduk sebagaimana digunakan oleh orang-orang Yahudi
dalam upacara keagamaan mereka, Namun sahabat Umar bin Khaththab berkata
“Alangkah baiknya kalian menjadikan seseorang yang bertugas untuk memanggil orang-orang
salat”, kemudian Rasulullah SAW menyetujui usulan Umar dan berkata “wahai
Bilal, berdirilah serta panggillah manusia untuk mendirikan salat!”.
Instrumen lain seiring
dengan hal itu, Abu Daud meriwayatkan sebagai berikut :
عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَمِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ أَرَادَ
النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فِى الأَذَانِ أَشْيَاءَ لَمْ يَصْنَعْ مِنْهَا شَيْئًا
قَالَ فَأُرِىَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ الأَذَانَ فِى الْمَنَامِ فَأَتَى النَّبِىَّ
صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ « أَلْقِهِ عَلَى بِلاَلٍ
Abdullah bin Zaid
berkata : “Nabi SAW berkeinginan untuk mencari cara dalam memberitahukan waktu
salat (adzan), namun beliau belum juga menemukannya”. Abdullah bin Zaid telah
bermimpi mengenai kalimat-kalimat azan dalam tidurnya. Lalu dia mendatangi Nabi
SAW untuk memberitahukan hal tersebut, kemudian Nabi SAW pun berkata
“Ajarkanlah kata-kata itu kepada Bilal!”.
Maksudnya,
dari warna-warni tayangan sang TV, grahita Stasiun TV Publik terhadap personal-personal
manusia yang ada di tiap rumah bisa sadar akan esensial seperti adzan lima
waktu “yang selalu ditayangkan benar nan sesuai tanpa ada kata dominan
substansial”, sehingga dapat menuai sisi kemaslahatan ummat manusia saat
menyalakan robot visualnya di rumah, tanpa mengurangi khusnudzonnya pada goverment
.
Sebagai penutup, pesan dari salah
satu pengasuh pondok di daerah sutong : sering-seringlah melantunkan “hasbunalloh
wani’mal wakil”,,, kenapa...??? sebagai acuan implisit, lafadz ini membenarkan
tentang segala bentuk ke-Esaan Allah sebagi satu-satunya dzat yang dapat
menetralisir semua warna yang sedang fana dan buta arah....
WALLAHUALAM....
WALLAHUALAM....
Jazaakumulloh hi
khoiron katsiron.....
Wallohulmuwaffiq, ilaa
aqwamith thorieq....
Wassalamualaikum,
wr,wb....
Editor : alineasutong
Point Helper : Ruri
1 komentar:
😂
Posting Komentar