Breaking

Minggu, 06 Oktober 2019

Agraria Pacet abad-21 || Jilid-1 || Motivation versi sutong







Salah satu pelajar di jenjang strata awal akademik di UINSA, yang berkecimpung di dunia desain grafis percetakan Sablon di halaman rumah (awalnya). Asal dari Pacet Mojokerto, salah satu daerah di kaki gunung Welirang dan gunung Penanggungan bagian utara yang notabennya masih terdominasi lahan hijau.
Semenjak tahun 2008 (pada saat saya masih menduduki bangku Sekolah Dasar), Pacet menjadi salahsatu destinasi fames untuk berkunjung wisata, sedikitnya ada perubahan mulai saat itu juga, khususnya perubahan dari sisi lahan hijau. Sebutan Villa mulai marak 3 tahun setelahnya (saat saya menduduki bangku SMP), bahkan saking maraknya wisata di pacet menginterfensi konstruksi bangunan disekitarnya menjadi banyak bangunan market. Wajar saja, “dimana ada gula, disitu pula akan ada semut”, inilah problem utama yang muncul di pacet yang sebagai kota wisata baru (Joglo Park, Pacet Mini Park, Pari Mas contohnya), disisi lain dengan keberadaan tersebut wisata menimbulkan Pacet sebagai sorotan masyarakat urban. Kenapa bisa disorot....?  sebab banyak dari masyarakat perkotaan khususnya Surabaya dan sekitarnya yang membeli lahan di Pacet dan rencananya akan dirikan villa di lahan miliknya. Dari sinilah kita dapat mengetahui bahwa potensi lahan daerah Pacet mulai berkurang karena aneksasi Wisata dan Villa.
***
Kejadian seperti yang saya tampilkan di pargraf ke-dua, kelihatannya memang sepele, bahkan banyak orang yang mendapatkan keuntungan berkat adanya wisata dan villa. Namun dibalik semua itu seandainya banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya lingkungan hijau, pastinya akan menolak tawaran pemanfaatan potensi kaki gunung yang seolah-olah akan menguntungkan masyarakat Pacet. Padahal dampak yang hari ini sedang mencekam masyarakat Pacet adalah kegersangan agraria di Pacet sebagai Paruh hijau Mojokerto nomor dua setelah kecamatan Jatirejo.
***
Inisiatif yang kian lama saya timbun, demi menunggu banyaknya teman yang progresif terhadap lingkungan, lambat laun makin menjadi kemirisan seorang buruh tani. Kenapa harus buruh tani...? tahu sendiri lah, buruh tani adalah manusia paling berjasa di Indonesia semenjak zaman megalitikum. Disisi lain, seyogyanya lantunan kopi merupakan salah satu wahana untuk menjembatani “seberapa totalitas orang yang dekat dengan saya untuk berpartisipasi terhadap realita agraria” yang hari ini tengah berada di posisi ancaman bangsa. Maksud saya, ingin sekali daerah saya tidak terkena dampaknya. Sebab, pada tahun 2011 di barat rumah saya ada proyek sirtu yang merenggut wisata air terjun dan dua lahan sawah yang terkena longsor akibat galian sirtu di sana. Walaupun sempat di gantikan biaya kerugiannya, tetap saja pemilik sawah dan masyarakat sangat kecewa  terhadap proyek tersebut. Alasan dari pihak mandor mengujar bahwa “ini rencananya disebelah air terjun akan dibangun kaflingan dan setelah itu akan dijadikan villa dan tempat wisata”. Namun dalam kurun waktu 8 tahun ini masih belum terealisasi bangunan yang sempat direncanakan kaflingan, villa dan wisata itu, dalam artian masih terbengkalai kosong lahannya. Ternyata dibalik itu semua pak lurah desa Njarum bilang bahwa “itu dulu proyeknya masih butuh nyogok ke pemerintah desa, tapi pemerintah desanya gamau murah. Ahirnya sampai saat ini terbengkalai”, ujar beliau ke tetangga-tetangganya dan menyebar luas ke desa saya. (informasi ini saya rangkum selama saya berada di Pacet).
***
Dari sini, alur yang saya baca menarik konotasi bahwa kapitalisme dan kong kalikong masih berkuasa di daerah Pacet. Tidak hanya itu, sedikitnya dari pengalaman saya setelah mengikuti wacana publik, aksi dan pengabdian di IPNU dan PMII ternyata masih kurang cukup dalam mengambil pengaruh di daerah kampung halaman saya. Bukan berarti condong ke ormek, namun realitanya jika berbicara masalah lahan, saya akui masyarakat lebih mengedepankan kesejahteraan hidup dan ekonomi tanpa dijajah semena-mena oleh petinggi-petinggi desa-pemerintah. Saya tidak begitu mahir dalam mengembangkan dan merekonsiliasi masalah, namun setidaknya analisis yang saya peroleh dapat membantu membantu pembacanya sadar dan peduli dengan situasi ekologi hari ini di Pacet.
***
Seperti contoh dinamika koknflik yang terjadi tanggal 16 kemari terkait papua kemarin yang didiskusikan dalam FGD “Pinggiran Rahmatan Lil Alamin untuk Papua : Diskusi Islam Progresif”  menuturkan bahwa perlunya penataan sistim kesadaran persuasif terhadap semua lini, jangan sampai karena kepentingan salah satu pihak dapat menurunkan dan memecah belah keragaman Indonesia. Hal ini lah yang sempat membuat saya tercengang melihat situasi Papua, bahkan sempat saya naratifkan dalam bentuk LKTI di UTM. Harapan saya dengan mengikuti jenjang Pesantren Agraria ini dapat memotivasi dan menambah kepedulian saya terhadap agraria di Pacet ataupun di tempat lainnya. Amin ya Rabbal Alamin....



M. Rizkillah
-
(17/09/2019)
Surabaya

Tidak ada komentar:

sample terbang banjari.zip + yaa makkatal asyroofi cover banjari "ayo sholawat"

ya makkatal asyroofi by: mahasiswa uinsa-ma'had annur wonocolo 1. husni hamdani (gresik) 2. m. rizkillah (pacet, mojokerto) 2...